Jumat, 17 Maret 2017

Sally Giovanny

BIODATA  SALLY GIOVANI



Hidup memang memilik pilihan. Bagi pengusaha muda pilihan adalah resiko terbesar. Contohnya yaitu wanita cantik bernama Sally Giovanny. Bayangkan sejak umur 18 tahun, Sally sudah dihadapkan pilihan mau usaha sendiri atau berhenti sekolah. Lulus SMA karena biaya Sally sempat galau mau melakukan apa nantinya.

Sally terlahir dari keluarga broken home. Kedua orang tuanya cerai ketika umurnya 6 tahun. Dia tinggal sama ibunya, yang setiap pagi buta pergi ke pasar. Ibu Sally membeli aneka sembako buat dijual kembali. Hidup dia memang penuh keprihatinan. 

Apakah dia mau kuliah atau membuka usaha. Ternyata tidak memilih kuliah sambi bekerja. Sally memilih fokus berusaha buat membantu keluarga. Alasan membiayai adik di bangku sekolah dasar memang kuat. Disisi lain gadis 18 tahun itu sudah memiliki cita- cita menjadi pengusaha mandiri.

Keputusan terbesar ialah ketika dia memilih menikah muda. Tentu kalau satu ini, keluarga sempat protes ya, namun keinginan tersebut dipastikan bukan keinginan sesaat. Dia menikah dengan Ibnu Riyanto, pemuda yang seumuran dia, dan justru karena menikahlah usahanya mampu dirintis sampai sekarang.

Ibnu bukan orang kaya. Bukan pula keturunan orang kaya berwarisan banyak. Banyak orang mencibir tapi mereka tetap menikah. Dari uang amplop bisnis mereka dimulai. Berkah setelah menikah justru dirasa Sally membawa angin segar. Ibnu sendiri sosok bertanggung jawab. Dia juga tidak takut memberi makan Sally.

Bisnis amplop


Awal berbisnis beneran, Sally butuh waktu beradaptasi hingga benar- benar berbisnis batik. Yah Sally adalah pengusaha batik Trusmi yang terkenal itu loh. Diawal dia mengaku bisnis batik bermodal Rp.35 jutaan. Yang mana merupakan hasil sumbangan pernikahannya dulu.

Ia merasa beruntung karena menikahi lelaki hebat. Sosok Ibnu meski 18 tahun, memiliki visi juga dibidang kewirausahaan. Keduanya kemudian berbisnis jualan kain mori. Inilah cikal- bakal bisnis batik Sally dimulai dari menjualkan kain mori kepada pembatik. Langsung dibawanya dari pabrikan kain ke sentra- sentra batik.

Sally menjadi suplier buat pengrajin batik Cirebon. Kain putih tersebut memang dijadikan kain batik. Namun dia menyadari menjadi suplier mori cuma gitu- gitu aja. Dia melihat banyak kain mori tersisa tidak terjual. Ia dan Ibnu lantas mendekati pengrajin batik tersebut.

Keduanya memintakan seorang pengrajin membatikan. Tolong dibuatkan desain di sisa mori jualan mereka. Ia sendiri kemudian menjajakan batik Cirebon tersebut. Melihat peluang di kota Jakarta lebih besar. Sally memutuskan memasarkan batik Cirebon ke Pasar Tanah Abang.

Dia pergi bersama suami ke Jakarta bermodal nekat. Bayangkan agar menghemat akomodasi, keduanya itu sepakat berangkat jam 12 pagi, sampai di Jakarta istirahat di pom bensi ataupun masjid. Ketika pasar buka, bukannya menyewa porter, Sally meminta sang suami mengangkut berkarung batik Cirebon sampai ke atas.

Dia meminta Ibnu sendiri memanggul berkarung batik. Masuk ke Tanah Abang, mereka harus menelan satu kekecewaan; batiknya tidak laku! Alasan penjual disana karena sudah memiliki suplier besar. Bukan seperti mereka yang baru saja berbisnis sendiri. Untuk membalik keadaan mereka membuat desain lebih unik.

Mereka membuat desain berbeda dari umumnya. Bersyukur batik karya Sally akhirnya dibeli meskipun tidak banyak. Ia lantas mengenang perlakuan salah satu penjual di sana, "saya coba dulu ya dan bayarnya pake giro, alias dibayar 3 bulan kemudian." Katanya sih begitulah cara pembayaran diterapkan di Tanah Abang.

Sally pun menego agar dibayar tunai. Namun sebagai catatan harga jual diturunkan Rp.1000 per- kainnya. Ia tidak putus asa malah semakin semangat. Bermodal untung sedikit diputarkan menjadi modal kembali. Dia lantas mengajak suami membuka toko sendiri.

Uang Rp.15 juta dibayarkan buat membuat toko sendiri. Ada dua pilihan membuka toko: Memilih buat toko besar namun masuk ke perkampungan. Atau membuka toko kecil di tempat strategis. Keputusan ini diambil dan kedua dipilih jadilah satu toko kecil di pusatnya keramaian.

Mereka membuka di kawasan sentra jualan batik. Mereka menyulap sebuah rumah di Jalan Trusmi Kulon no. 129 menjadi pusatnya. Sebuah rumah disulap menjadi galeri batik bernama Batik IBR. Wanita kelahiran 25 September 1988 ini, hanya memiliki dua karyawan awalnya, beruntung ketika batik lantas jadi booming besar!




Tidak ada komentar:

Posting Komentar